Latest Entries »

Image (Gambar: modernisticdesign.blogspot.com)

(Gambar dikutip dari situs: dewiayuwh.blogspot.com)

setelah membaca sebuah artikel di sebuah situs internet mengenai museum swasta, saya jadi berimajinasi memiliki museum swasta seperti itu. Dengan semakin mudahnyamendapatkan ijin untuk membuat museum, sepertinya hal ini bukan cita-cita yang mustahil..

Dalam visi saya, museum itu nantinya bukan seperti museum artis yang ada di luar negeri itu yang hanya mengedepankan perjalanan karier agar tetap dikenang dari jaman ke jaman alias pencitraan

tapi museum yang saya ingin ciptakan adalah musem mengenai perjuangan mahasiswa pada masa penjajahan, orde lama, baru dan reformasi. Selain itu akan ada galeri foto demonstrasi mahasiswa dari jaman ke jaman.

Museum ini juga akan menceritakan sejarah semua universitas di Indonesia yang dikemas secara audio visual mulai dari awal dibangun, sejarah unik yang ada di universitas tersebut hingga usaha yang mereka lakukan untuk mempertahankan eksistensi mereka dengan makin banyaknya universitas internasional yang mulai berdatangan di Indonesia.

dalam museum itu, bukan hanya gambar dan suara, tapi juga ada baju almamater dari universitas se-Indonesia juga patung para cendikiawan yang mengeyam bangku kuliah pada masa lampau seperti Budi Oetomo, Soekarno dan masih banyak lagi.

Museum yang bersifat akademis ini dalam bentuk bangunannya akan mengedepankan sisi artistik budaya indonesia. nilai estetika bangunan ini tidak akan melupakan sisi budaya Indonesia yang begitu beraneka ragam. aroma akademis akan santer tercium saat berada dalam museum. wah baru berimajinasi saja, bulu roma saya sudah berdiri!!

Tentu saja, museum yang menarik adalah museum yang bersifat lengkap dari sisi informasi dan modern baik dari tampilan luar maupun fasilitas didalamnya. Sehingga bisa bersaing dengan informasi yang ada di internet. saya harap saya bisa membuat museum yang dapat membuat mahasiswa atau pengunjung lain tidak bosan dan ingin selalu datang, lagi dan lagi.

Didalam museum juga akan terdapat sebuah ballroom khusus mahasiswa yang ingin mengadakan seminar akbar atau diskusi umum. Ide ini muncul mengingat sulitnya mendapatkan dana dan ijin dari pihak universitas untuk membuat acara diskusi atau seminar secara akbar.

Selain ruang pameran dan ballroom, akan ada ruang jumpa pers bagi teman-teman mahasiswa yang ingin mempublikasikan buku atau karya ciptaannya kepada publik namun dengan dana yang minim.

Hal ini tentu saja baru dapat terwujud apabila ada sokongan dana dari beberapa pihak. namun yang pasti museum ini ditujukan untuk mahasiswa dan akan tetap dilestarikan oleh mahasiswa dari generasi selanjutnya sebagai warisan sejarah.

 

Tujuan nya:

1. meningkatkan tali persaudaraan antara universitas baik yang ada di Ibukota maupun di daerah terpencil. hal ini diharapkan memperkecil potensi tawuran yang biasa terjadi antar universitas

2. memacu universitas lainnya untuk menyamai kualitas pengajaran dan akreditasi dengan universitas lain yang lebih maju (bersaing secara positif)

3. Menjadi pengetahuan bagi wisatawan asing mengenai kondisi pendidikan jenjang universitas di Indonesia

4. Membantu para siswa SMA yang baru saja lulus untuk menentukan pilihannya. mengingat cukup banyaknya pilihan yang ada.

5. menjadi cermin bagi pemerintah mengenai kondisi pendidikan terutama pada universitas yang berada di daerah terpencil / bukan di Ibukota.

6. Memacu pemerintah dan pihak universitas untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan nasional hingga taraf internasional namun tidak mencekik kantong masyarakat menengah ke bawah.

7. Dengan makin banyaknya jumlah masyarakat berpendidikan tinggi dan berintelektual, akan semakin berkurang masyarakat yang berpikir dangkal karena kurangnya pengetahuan dan potensi tindakan kriminal terutama terorisme akan semakin berkurang. Moral bangsa pun diharapkan akan semakin membaik.

 

Tentu saja, imajinasi atau cita-cita ini bukan tanpa hambatan. Setidaknya ada 4 hambatan yang saya temui, yaitu:

1. Dana

2. Kerjasama dengan semua universitas di Indonesia

3. Dokumentasi dan data

4. Dukungan moral dari masyarakat

 

Saya berharap imajinasi ini bukan hanya angan semata. Kalau stadion olahraga yang menelan biaya miliyaran rupiah saja bisa, mengapa sebuah museum tidak bisa terwujud??

Entah siapapun anda yang membaca, saya berharap cita-cita ini dapat terwujud. Demi Indonesia yang lebih bermartabat, kenapa tidak??

  1. A.   John Locke:

Manusia dalam keadaan alamiah adalah bebas merdeka mengatur tindakan mereka, mempergunakan barang miliknya tanpa perlu ijin dan tidak tergantung pada kehendak siapapun. Manusia sama sederajat, semua kekuasaan bersifat timbal balik, tidak ada orang yang lebih berkuasa daripada orang lain (perfectly free and equals). Meskipun manusia leluasa menggunakan diri dan barang miliknya, manusia tidak mempunyai kebebasan menghancurkan dirinya sendiri ataupun makhluk lain.

Agar semua individu tidak saling melukai serta tercipta kedamaian dan kelanggengan seluruh bangsa maka tercipta hukum alam yang harus ditaati. Dalam pelaksanaan hukum alam, diserahkan kepada setiap individu sehingga tiap individu mempunyai hak untuk menghukum para pelanggar hukum sampai pada tingkatan yang diperkirakan dapat mencegah pelanggar tersebut. Setiap individu dapat menjadi pelaksanaan hukum, karena dalam kesamaan, tidak ada individu yang lebih tinggi daripada yang lain. Setiap orang berhak memerintah diri sendiri  dan pada pihak lain, pemerintah harus memiliki kewenangan tertinggi atas warganya dan harus ditaati.

Melalui dilema ini, ia berpendapat, kebebasan individu hanya dapat dijamin dengan suatu pemerintahan yang memiliki kewenangan terbatas. Fungsi pemerintah adalah memelihara ‘milik pribadi’, yaitu perdamaian, keselamatan dan kebaikan bersama setiap warga masyarakat. Milik pribadi dapat dijamin dengan menetapkan hukum dan hakim yang adil serta membentuk administrasi penegak hukum dan juga memelihara persaingan ekonomi yang bebas dan sehat.

Meskipun John lock membenarkan tirani mayoritas dengan mengemukakan bahwa setiap individu harus menyesuaikan diri dengan kehendak mayoritas (persetujuan masyarakat sebagai mayoritas), tapi Locke juga mengatakan pemerintah harus melaksanakan kewenangannya berdasarkan hukum (rule of law) untuk melindungi hak-hak minoritas dan hak-hak individu dari tirani kekuasaan yang absolute dan sembarangan (arbitrary)

Menurutnya, pemerintah berdasarkan hukum tidak hanya menuntut pejabat negara yang bertindak sesuai hukum tetapi kekuasaan harus dipisah menjadi 3 yaitu pembuat hukum (legislative), pelaksana hukum (eksekutif) dan pengadilan (yudikatif) sehingga tidak terjadi kekuasaan tunggal yang mementingkan diri sendiri.

  1. B.   Charles Louis de Secondat Baron de Montesquieu (Montesquieu)

Merupakan tokoh filosof politik, sosiolog, sejarawan dan penulis novel terkemuka di zamannya. Beliau dikenal dengan gagasannya mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan dalam 3 bentuk yaitu eksekutif, legislative dan yudikatif yang pada akhirnya diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika serta Indonesia.

Gagasan dibalik Trias Politica adalah gagasan bahwa demi terjaminnya kebebasan politik rakyat, perlu ada pemisahan kekuasaan negara agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Kebebasan merupakan hal yang penting dalam pemikiran Montesquieu. Pemikiran beliau merupakan suatu usaha mendesakralisasi ilahiyah kaum bangsawan dan raja. Ia ingin menegaskan bahwa kekuasaan bukan berasal dari Tuhan, tetapi rakyat. Rakyatlah yang memberi mandat kepada negara untuk berkuasa dan mengatur mereka.

Sama seperti Locke, Montesquieu berpendapat bahwa lembaga atau kekuasaan legislative adalah lembaga yang tugas utamanya merumuskan undang-undang atau peraturan negara. Lembaga legislative merupakan refleksi kedaulatan rakyat. Yang menarik, rakyat yang dimaksud Montesquieu adalah berupa dewan rakyat bukan orang-orang yang mewakili rakyat. Mereka yang menjadi dewan rakyat merupakan mediator rakyat dan penguasa, menjadi komunikator dan aggregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Bentuk kongret dari badan legislative adalah DPR, cabinet dan parlemen. Dengan adanya lembaga legislative, kepentingan rakyat dapat terwakili dengan baik. Lembaga legislative merupakan cermin kedaulatan rakyat.

Meskipun menurut Trias Politica, rakyat merupakan pemegang kekuasaan negara, tidaklah berarti Montesquieu menolak kekuasaan aristokrasi. Ia tetap mengakui hak-hak kaum bangsawan. Sehingga tercipta dua kamar yaitu wakil-wakil rakyat dan kaum bangsawan yang menurut Montesquieu menjadikan parlemen sebagai lembaga politik ideal dimana dalam melakukan tugas-tugas kenegaraannya, kedua kamar perlu saling melakukan pengawasan atau control politik agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan (check  and balance).

Namun yang berbeda dari Locke, Ia berpendapat bahwa manusia secara alamiah berbeda, ada yang lebih cerdas, kaya dan terhormat dari manusia lainnya. Ia juga berpendapat bahwa penghapusan hak-hak istimewa kaum aristocrat akan berpengaruh pada negara. Negara akan rusak dan sulit berfungsi sebagaimana mestinya bila hak-hak istimewa kaum bangsawan dicabut.

Seperti yang ditulis oleh Deliar Noer, Montesquieu berpendapat bila kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan maka tidak mungkin tercipta kemerdekaan. Kemerdekaan rakyat akan terancam bila hakim akan menjadi orang yang membuat hukum karena dengan begitu hakim akan bertindak kekerasan dan penindasan.

Dalam bukunya, De L’Esprit de Lois, Negara republik menurut Montesquieu mengacu pada negara republic zaman yunani kuno dimana kehancuran sistem republic disebabkan semangat kebersamaan yang ekstrem. Setiap anggota masyarakat merasa sederajat dengan para penguasa yang memerintah negara. Akibatnya rasa hormat kepada atasan atau penguasa negara lenyap, rakyat merasa lebih tahu dan mampu mengatur dirinya sendiri. Rusaknya negara juga karena kekeliruan memahami makna kebebasan, kebebasan membuat orang tidak hormat lagi kepada orang yang lebih tua, orangtua, suami. Merajalela korupsi merupakan factor lain penyebab kehancuran negara republic.

  1. C.   Jean Jacques rousseau

Dalam keadaan alamiah, manusia pada dasarnya baik, cinta damai, memiliki kebebasan mutlak sejak lahir dan tidak suka perang sebab tidak terdapat rasa benci, dendam dan iri hati pada dirinya. Kebebasan merupakan determinan yang membuat manusia menjadi manusia alamiah. Mereka bebas melakukan apapun yang dikehendaki terlepas apakah hal itu menyebabkan pertikaian dengan manusia lainnya. Dalam konsep ‘kembali ke alam’, Rousseau megidealisasikan manusia yang liar tapi baik. Manusia alamiah menurutnya adalah tidak baik dan tidak buruk, tidak egois dan tidak altruis, hidup polos dan mencintai diri secara spontan. Ia juga bebas dari segala wewenang pengaruh kekuasaan orang lain dan karena itu secara hakiki sama kedudukannya.

Untuk menjadi manusia alamiah dalam konteks masyarakat modern, menurutnya manusia harus di didik sejak kanak-kanak yaitu dengan dibiarkan bebas menentukan watak dan kepribadiannya sesuai kehendak alam bukan dengan segala etika dan nilai-nilai moralitas dalam struktur sosial dunia modern. Kemerdekaan dirampas dari manusia karena adannya berbagai konvensi, adat-istiadat dan pembatasan-pembatasan yang melibatkan lembaga-lembaga ekonomi dan politik

Kebebasan menurut Rousseau adalah suatu keadaan tidak terdapatnya keinginan manusia untuk menaklukkan sesamanya. Manusia bebas dari rasa ketakutan akan kemungkinan terjadinya penaklukkan atas dirinya secara persuasive maupun kekerasan. Kebebasan juga diartikan sebagai hak untuk melakukan sesuatu yang orang lain tidak diperkenankan melakukannya, disisi lain istilah yang sama bisa dipahami sebagai keadaan dimana keadilan sepenuhnya ditegakkan sehingga tidak ada manusia yang diperlakukan semena-mena/ merdeka/ tidak terbelenggu. Rousseau berkata bahwa orang yang merdeka (bebas) adalah orang yang patuh terhadap hukum dan peraturan tetapi ia tidak menjadikan dirinya budak. Ia mematuhi hukum tetapi bukan mematuhi manusia yang membuat hukum. Kebebasan tetap dapat dimiliki meskipun dalam gradasi berbeda, apabila ia masuk menjadi bagian dari political society atau dalam kekuasaan negara.

Manusia dalam kesadaran penuh atas kekhawatiran terjadinya perang dan pertikaian akibat dari kesewenang-wenangan atas hak kebebasan yang dimiliki setiap orang, berusaha untuk keluar dari keadaan alamiah dan membentuk negara sehingga kekuasaan negara itu membuat mereka merasa lebih terjamin hidupnya. Individu-individu dalam masyarakat sepakat menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama (negara) namun negara berdaulat karena mandat dari rakyat. Negara diberi mandat oleh rakyat untuk mengatur, mengayomi dan menjaga keamanan maupun harta benda mereka. Kedaulatan akan tetap abash bila fungsi-fungsinya dijalankan sesuai kehendak rakyat. Rousseau dalam Du contract social, mendambakan demokrasi langsung dimana sistem kenegaraan setiap warga negara yang jumlahnya tidak begitu banyak menjadi pembuat keputusan dalam suatu wilayah yang tidak terlalu luas. Pada negara tersebut rakyat dapat menjadi subjek pemerintahan sekalipun dibawah kekuasaan negara. Dengan kata lain, rakyat diperintah tetapi pada saat yang sama juga memerintah

Daftar Pustaka

  1. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Gramedia, Jakarta, 2001
  1. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, 1992
  1. Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi, Permata Aksara, Jakarta 2011

Kriminalitas semakin marak di Jakarta. Sebagai daerah ibukota metropolitan, tingkat keamanan yang seharusnya menjadi hal penting sudah semakin dipertanyakan kestabilannya. Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, menjadi hal umum yang sering kita saksikan di media massa.

 

Berita hari ini, Liliana, 21 tahun, warga Jalan Utan Jati Gang Kramat RT 5 RW 6 Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat, dirampok empat orang tidak dikenal seusai pulang kerja sekitar pukul 01.00 WIB, Senin, 9 Mei 2011 dini hari. Empat pelaku yang mengendarai dua sepeda motor itu merampas uang senilai Rp 12,5 juta dan motor jenis Yamaha Jupiter milik koban tepat setelah korban memasuki Gang Kramat, tidak jauh dari rumahnya. Berita diatas merupakan gambaran betapa maraknya perilaku kriminalitas di jakarta.

Perilaku criminal adalah perilaku menyimpang yang merupakan tindakan kejahatan yang melanggar norma hukum. Pelaku criminal pada umumnya adalah pihak yang memiliki pendidikan yang minim dan berasal dari masyarakat ekonomi kelas bawah. Namun tampaknya pemahaman ini telah berubah, oknum-oknum pelaku criminal bukan lagi berasal dari masyarakat yang minim pendidikan ataupun dari masyarakat yang berekonomi rendah/ minoritas. Contohnya adalah para koruptor yang tidak pernah puas menyedot uang rakyat untuk menikmati gaya hidup metropolitan yang yang tidak pernah ada batasnya.

Supremasi hokum seolah ‘lumpuh’ ketika menghadapi oknum-oknum tersebut, ketika uang dan kekuasaan berbicara, hokum seolah tidak memiliki kekuatannya lagi. Para petugas keamanan tidak lagi mampu mengatasi para pelanggar hokum. Contoh paling mudah dilihat yaitu para pelanggar lalu lintas yang mengatasi masalah mereka dengan memberikan ‘salam tempel’ kepada petugas lalu-lintas.

Para penguasa dan pemilik modal dapat mengeruk kekayaan Negara dengan sepuasnya dan bahkan tindakan ini semakin didukung oleh undang-undang yang diciptakan para wakil rakyat yang mendahulukan kepentingan mereka sendiri.

Apakah Jakarta masih layak disebut ibukota? Itulah yang menjadi pertanyaan utama dalam konteks penulisan kali ini. Maraknya kriminalitas di Ibukota seolah melunturkan wajah Indonesia sebagai negara cinta damai dan aman. Wajarlah kini, apabila para investor asing tidak mudah lagi percaya pada Indonesia.

Dari sisi psikologi, perilaku criminal dapat digolongkan sebagai perilaku menyimpang. Akibat dari peristiwa criminal yaitu menghasilkan para korban yang kehilangan nyawa dan rasionalitasnya akibat peristiwa tersebut. Wajar pula, apabila banyak pendapat mengatakan, jumlah orang gila di Jakarta setiap tahunnya meningkat.

Solusi yang diberikan oleh pemerintah pusat seolah hanya goresan huruf dalam kertas yang tidak memiliki baik makna maupun kekuatan. Tindakan sosialisasi peraturan keamanan seolah hanya formalitas pekerjaan belaka tanpa ada dampak positif yang dihasilkan. Selama system pendidikan formal belum diperbaiki dan masyarakat miskin masih tetap terbelakang secara pendidikan, kriminalitas tidak akan pernah pudar. Selama jumlah lapangan kerja masih sedikit dan sosialisasi seperti pelatihan –pelatihan kemampuan (menjahit, mengetik, dsb) tidak digalakkan pemerintah secara gratis dan menyebar, maka tetap akan ada daerah yang terbelakang dan selama masih ada daerah yang terbelakang, maka kriminalitas masih memiliki kekuatan.