Kriminalitas semakin marak di Jakarta. Sebagai daerah ibukota metropolitan, tingkat keamanan yang seharusnya menjadi hal penting sudah semakin dipertanyakan kestabilannya. Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, menjadi hal umum yang sering kita saksikan di media massa.

 

Berita hari ini, Liliana, 21 tahun, warga Jalan Utan Jati Gang Kramat RT 5 RW 6 Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat, dirampok empat orang tidak dikenal seusai pulang kerja sekitar pukul 01.00 WIB, Senin, 9 Mei 2011 dini hari. Empat pelaku yang mengendarai dua sepeda motor itu merampas uang senilai Rp 12,5 juta dan motor jenis Yamaha Jupiter milik koban tepat setelah korban memasuki Gang Kramat, tidak jauh dari rumahnya. Berita diatas merupakan gambaran betapa maraknya perilaku kriminalitas di jakarta.

Perilaku criminal adalah perilaku menyimpang yang merupakan tindakan kejahatan yang melanggar norma hukum. Pelaku criminal pada umumnya adalah pihak yang memiliki pendidikan yang minim dan berasal dari masyarakat ekonomi kelas bawah. Namun tampaknya pemahaman ini telah berubah, oknum-oknum pelaku criminal bukan lagi berasal dari masyarakat yang minim pendidikan ataupun dari masyarakat yang berekonomi rendah/ minoritas. Contohnya adalah para koruptor yang tidak pernah puas menyedot uang rakyat untuk menikmati gaya hidup metropolitan yang yang tidak pernah ada batasnya.

Supremasi hokum seolah ‘lumpuh’ ketika menghadapi oknum-oknum tersebut, ketika uang dan kekuasaan berbicara, hokum seolah tidak memiliki kekuatannya lagi. Para petugas keamanan tidak lagi mampu mengatasi para pelanggar hokum. Contoh paling mudah dilihat yaitu para pelanggar lalu lintas yang mengatasi masalah mereka dengan memberikan ‘salam tempel’ kepada petugas lalu-lintas.

Para penguasa dan pemilik modal dapat mengeruk kekayaan Negara dengan sepuasnya dan bahkan tindakan ini semakin didukung oleh undang-undang yang diciptakan para wakil rakyat yang mendahulukan kepentingan mereka sendiri.

Apakah Jakarta masih layak disebut ibukota? Itulah yang menjadi pertanyaan utama dalam konteks penulisan kali ini. Maraknya kriminalitas di Ibukota seolah melunturkan wajah Indonesia sebagai negara cinta damai dan aman. Wajarlah kini, apabila para investor asing tidak mudah lagi percaya pada Indonesia.

Dari sisi psikologi, perilaku criminal dapat digolongkan sebagai perilaku menyimpang. Akibat dari peristiwa criminal yaitu menghasilkan para korban yang kehilangan nyawa dan rasionalitasnya akibat peristiwa tersebut. Wajar pula, apabila banyak pendapat mengatakan, jumlah orang gila di Jakarta setiap tahunnya meningkat.

Solusi yang diberikan oleh pemerintah pusat seolah hanya goresan huruf dalam kertas yang tidak memiliki baik makna maupun kekuatan. Tindakan sosialisasi peraturan keamanan seolah hanya formalitas pekerjaan belaka tanpa ada dampak positif yang dihasilkan. Selama system pendidikan formal belum diperbaiki dan masyarakat miskin masih tetap terbelakang secara pendidikan, kriminalitas tidak akan pernah pudar. Selama jumlah lapangan kerja masih sedikit dan sosialisasi seperti pelatihan –pelatihan kemampuan (menjahit, mengetik, dsb) tidak digalakkan pemerintah secara gratis dan menyebar, maka tetap akan ada daerah yang terbelakang dan selama masih ada daerah yang terbelakang, maka kriminalitas masih memiliki kekuatan.